Pencarian Untuk Blog Ini

Home » , » Hulul di Dalam Ilmu Tasawuf

Hulul di Dalam Ilmu Tasawuf


hulul dalam ilmu tasawuf


A.    PENGERTIAN, TUJUAN, DAN KEDUDUKAN HULUL
Secara Harfiyah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana. Menurut keterangan Abu Nasr al Tusi dalam al Luma’ sebagai dikutip Harun Nasution, adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat didalamnya seteah kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Paham ini bertolak dari dasar pemikiran al Halaj yang mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat dua dasar yaitulahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan).
Sebelum Tuhan menjanjikan makhluq, ia hanya melihat dirinya sendiri. Dalam kesendianNya itu terjadilah dialog antara Tuhan dengan diriNya sendiri. Yaitu dialog yang didalamnya tidak terdapat kata ataupun huruf. Yang dilihat Allah hanyalah kemuliaan dan ketinggian zatNya. Allah melihat kepada zatNya dan Ia pun cinta zatNya sendiri, cinta yang tak dapat ditafsirkan dan cinta inilah yang menjadi sifat wujud dan sebab dari yang banyak ini. Ia pun mengeluarkan dari yang tiada bentuk copy dari dirinya. Bentuk copy ini adalah Adam. Ia cinta pada Adam dan pada diri Adam Allah muncul dalam bentuknya. Dengan demikian pada diri Adam terdapat sifat-sifat yang dipancarkan Tuhan yang berasal dari Tuhan sendiri. Maka manusia mempunyai sifat Ketuhanan pada dirinya. Seperti dalam surat Al Baqoroh : 34 “Dan ingatlah ketika kami berkata kepada malaikat. “sujudlah kepada Adam”, semuanya sujud kecuali iblis, yang enggan dan merasa besar. Ia menjadi yang tidak percaya.”
Menurut Al Halaj jika sifat Ketuhanan yang ada pada diri manusia bersatu dengan sifat kemanusiaan yang ada dalam diri Tuhan maka terjadilah hulul. Maka manusia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan melalui proses yang fana sebagaimana telah disebutkan diatas. Dengan demikian hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap dimana manusia dan Tuhan bersatu secara rohaniyah.[1] Dalam hal ini hulul pada hakikatnya istilah lain dari ittihad atau tingkatan tasawuf seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan.[2]
Namun yang menjadikan perbedaan antara Ittihad (Al Bastami) dan Hulul (Al Halaj) yaitu dalam Ittihad yang dilihat satu wujud, sedangkan dalam hulul ada dua wujud, tetapi bersatu dalam satu tubuh. Hal ini dapat dipahami dari syair yang dinyatakan Al Hallaj yang artinya “Aku adalah rahasia yang maha benar, dan bukanlah yang benar itu aku. Aku hanya satu dari yang benar, maka bedakanlah antara kami”. Dengan ungkapan seperti itu, kita dapat menilai bahwa pada saat Al Hallaj mengatakan satu dari yang benar sebenarnya bukan roh Al Hllajyang mengucapkan demikian. Tetapi roh Tuhan mengambil tempat (hulul) dalam diri Al Hallaj.[3]
Paham persatuan timbul kemudian dalam bentuk wahdah al wujud, kesatuan wujud. Filsafat ini dibawa oleh Muny Al Din Ibnu Al Arabi dari Spanyol Islam. dalam filsafat wahdah al wujud nasut al halaj dirubah dengan Al Khalaq (makhluk) dan lahut menjadi Al Khaq (Tuhan). Semua tu merupakan dua aspek dari setiap makhluk. Aspek sebelah luar disebut Al Khalaq dan aspek dari setiap dalam disebut Al Khaq. Dalam setiap makhluq terdapat aspek ketuhanan jadi bukan hanya dalam manusia disebut al Halaj. Aspek batin itulah yang terpenting dan itu merupakan essensi dari setiap makhluq.[4]
Tujuan dari Hulul adalah mencapai persatuan secara batin. Untuk itu Hamka mengatakan bahwa hulul adalah ketuhanan yang menjelma pada diri insane. Dan hal ini terjadi pada saat kebatinan seorang insane telah suci bersih dalam menempuh perjalanan hidup kebatinan.[5]
B.     BIOGRAFI TOKOH YANG MENGEMBANGKAN PAHAM AL HULUL[6]
Tokoh yang mengembangkan Al Hulul adalah Al Hallaj. Nama lengkapnya Husein bin Mansur Al Hallaj. Ia lahir tahun 244H/ 858M di negri Baidha, salah satu kota kecil yang terletak di Persia. Dia tinggal sampai dewasa di Wasith, dekat Baghdad. Dan dalam usia 16 tahun dia telah pergi belajar pada seorang sufi yang terbesar dan terkenal bernama Sahl bin Abdullah al Tustur dinegri Ahwaz. Kemudian ia berangkat keBasrah dan belajar pada seorang sufi bernama Amr al Makki pada tahun 264 H. ia masuk kota Baghdad dan belajar pada al Junaid dan juga seorang sufi. Selain itu ia pernah juga menunaikan ibadah haji selama tiga kali. Dengan riwayat hidup ini jelas ia memiliki dasar pengetahuan tentang tasawuf yang cukup kuat dan mendalam.
Dalam perjalanan hidup selanjutnya ia pernah keluar masuk penjara akibat konflik dengan ulama fiqih. Pandangan pandangan tasawuf yang agak ganjil sebagaimana akan ditentukan dibawah ini menyebabkan seorang ulama fiqih bernama Ibn Daud al Isfahani mengeluarkan fatwa untuk membantah dan memberantas pahamnya. Al Isfahani dikenal sebagai ulama fiqih penganut mazhab zuhiri. Mazhab yang hanya mementingkan dhohir nas ayat belaka. Fatwa yang menyesatkan dikeluarkan oleh Ibn Daud itu sangatbesar pengaruhnya terhadap diri Al Hallaj. Sehingga Al Hallaj ditangkap dan dipenjara. Tetapi setelah satu tahun dipenjara, dia dapat meloloskan diri berkat bantuan seorang sifir penjara.
Dari Baghdad dia melarikan diri ke Kus, suatu tempat wilayah yang terletak di Ahwaaz. Setelah bersembunyi empat tahun lamanya dia tetap tidak menguah pendiriannya. Akhirnya ia ditangkap kembali dan dimasukkan kepenjara selama delapan tahun lamanya. Walaupun begitu tidak menyebabkan luntur pendiriannya. Pada tahun 309 H/ 921 M diadakan persidanganulama dibawah pengawasan kerajaan bani Abbas, kholifah Mu’tasim billah. Dan akhirnya pada tanggal 18 Dzulhijah 309 H/ 921M al Hallaj dijatuhi hukuman mati. Ia dibunuh dengan terlebih dahulu dipukul an dicambuk, lalu disalib, sesudah itu dipotong potong kedua tangan dan kakinya. Dipenggal lehernya, dan ditinggalkan tergantung bagian bagian tubuh itu digerbang pintu Baghdad dengan maksud untuk menjadi peringatan bagi ulama lainnya yang berbeda pendirian.
Betapa kejamnya para penyisa itu dan mengapa is dengan tega melakukan cara yang demikian. Mengenai sebab dibunuhnya Al Hallaj hingga sekarang masih kontrovelsial. Jika kebanyakan mengemukakan bahwa sebab sebab dibunuhnya Al Hallaj karena perbedaan paham dengan paham yang dianut oleh ulama fiqh yang dilindungi oleh pemerintah, maka hal ini masih juga dipertanyakan.orang menanyakan jika AL Hallaj dibunuh karena perbedaan paham dengan paham yang dianut oleh ulama fiqh, mengapa sufi yang lainnya sebagaimana Zun Al Nun al Misri, Ibn Arabi dan lainnya tidak dibunuh.
Versi lainnya diberikan Harun Nasution, tampaknya perlu dipertimbangkan. Menurutnya al Hallaj dituduh punya hubungan dengan geraka Qoratimah. Yaitu satu sekte Syiah yang dibentuk oleh hamdan ibn qormat abad IX M. sekte ini mempunyai paham komunis mengadakan terror, menyerang makkah 939M merampas hajar aswadyang dikembalikan oleh kaum fatimi951M. dan menentang pemerintah bani Abbas, mulai dari abad X M- XI M. jika yang dituduhkan ini memang menar, AL Hallaj secara politis dan ideologis memang salah dan patut dihukum, tetapi jika hal ini hanya tuduhan belaka, maka masalahnya jadi lain. Pengadilan akhiratlah yang kelak mengadili mereka secara bijaksana.
C.    PENEMPATAN AL HALLAJ SEBAGI PEMBAWA PAHAM HULUL[7]
Dapat dipahami dari beberapa pernyataan dibawah ini yang atrinya:
“Jiwamu disatukan dengn jiwaku, sebagaimana anggur disatukan dengan air suci. Dan jika ada suatu yang menyentuh, ia menyentuh aku pula, dan ketika itu dalam tiap hal Engkau adalh aku”
“Aku adalah Dia yang kucintai dan Dia yang kucintai adalah aku. Kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh, jika engkau lihat engkau lihat Dia. Dan jika engkau lihat Dia engkau lihat kami.
            Dalam paham hulul ini dikemukakan Al Hallaj tersebut ada dua hal yang dapat dicatat. Pertama, bahwa paham hulul merupakan pengembangan atau bentuk lain dari paham mahabbah bagaimana disebutkan dibawa Robiah al Adawiyah. Hal ini terlihat adanya kata kata cinta yang dikemukakan al Hallaj. Kedua, hulul juga menggambarkan adanya ittihad atau kesatuan rohaniyah dengan Tuhan. Namun harun nasution membedakan kesatuan rohaniyah yang dialami al Hallaj melalui hulul, dengan kesatuan rohaniyah yang dialami abu yazid dalam ittihad. Dalam persatuan melalui hulul ini, al Hallaj kelihatannya tak hilang, sebagai halnya dengan diri abu yazid dalam ittihad. Dalam ittihad dari abu yazid hancur dan yang ada hanya diri Tuhan. Dalam paham al Hallaj dirinya tak hancur ternyata dari ungkapan syairnya di atas.
D.    PENOLAKAN IMAM AL JUNAID TERHADAP PAHAM HULUL[8]
Imam AL Junaid menyatakan bahwa Allah tersucikan dari segala kesalahan dan Dia tidak hulul dalam entitas wujud apapun. Karenanya, setinggi apapun taraf spiritual yang dicapai seorang dan sebanya apapun hakikat yang tersingkap yang dihadapannya. Ia tetap tidakdiperbolehkan sama sekalikeluar dari martabat kehambaan kepada Allah dengan mengklaim sebagai titisan Tuhan. Sebaliknya, penghambaannya kepada Tuhan justru harus semakin nyata. Al Junaid mengatakan : “tiada seorangpun yang mencapai derajat hakikat kecuali ia wajib membatasi diri dengan hak-hak penghambaan dan hakikatnya, bahkan ia dituntut lebih banyak lagi untuk menjalankan beragam adab atautata krama”.
Al Junaid bersikap tegas dank eras terhadap setiap orang yang mengklaim hulul atauittihad dari kalangan pseudo sufi yang secara sepihak dan palsu menisbatkan diri pada tasawuf. Ia mengatakan :“tidak ada yang disana kecuali Allah karena secara eksplisit pernyataan ini berkonsekuensi menafsirkan makhluk dan menafikan seluruh tatanan hokum syariat yang berkaitan dengan mereka.”
Meski demikian, Al Junaid tidak semerta merta mengingkari pernyataan bernada pantheistic yang keluar dari lisan kalangan sufi sejati yang tengah mengalami eksate sufi. Lalu mengucapkan perkataan musykil dalam mabuk spiritual. Semisal abu yazid. Al Munawi bercerita : Al Junaid dilapori bahwa Abu Yazid pernah berkata : “Maha suci aku Tuhan yang maha tinggi”. Ia menjawab : “ia tengah mengalami kondisi istihlak (bingung), lalu mengicapkan sesuatu yang membingungkan karena benar-benar tercengang dengan al Haq saat melihatNya sehingga tidak ada yang ia saksikan dalam al Haq kecuali al Haqq.”
Al Junaid tetap konsisten mensucikan Allah dari segala hal yang tidak pantas bagiNya. Dan menolak tegas paham hulul. Ia hanya cenderung memaafkan kaum sufi sejati yang mengucapkan perkataan musykil ketika tengah fana’ atau mabuk spiritual, sebagaimana kecenderungan untuk membedakan antara sufi sejati dan pseudo sufi.



[1] Prof. Dr. H. Natta Abuddin,M.A Akhlak Taasawuf, (Jakarta :PT. Raja Grafindo, 2012)239-241
[2] Drs. H. Mustofa A. Akhlak tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999)269
[3] Prof. Dr. H. Natta Abuddin,M.A Akhlak Taasawuf, (Jakarta :PT. Raja Grafindo, 2012) 246
[4]Drs. H. Mustofa A. Akhlak tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999)273
[5] Prof. Dr. H. Natta Abuddin,M.A Akhlak Taasawuf, (Jakarta :PT. Raja Grafindo, 2012) 241
[6] Ibid, 242-245
[7] Ibid, 245-246
[8] Dr. Fauqi Hajjaj Muhammad, Tasawuf Islam dan Akhlak, (Jaarta: AMZAH, 2011)112-113

dari : http://perpustakaanhamzah.blogspot.com
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

0 comments:

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Waskita™ - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger