Oleh : Drs. Asep Saepullah
Permasalahan PGRI
Kalau
kita bagi anggota Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), terbagi
menjadi dua jenis anggota dan dua kategori anggota. Dua Jenis anggota
yaitu anggota yang memimpin (Pengurus) dan anggota yang dipimpin. Adapun
kategori anggota yaitu anggota aktif dan anggota pasif.
Dari
dua jenis dan dua kategori inilah kemudian berkembang menjadi
bermacam-macam karakter, sifat dan perilaku, tergantung dari bawaan dan
lingkungan yang mencetaknya. Sudah dapat dipastikan akibat dari pengaruh
bawaan dan juga lingkungan, maka setiap individu memiliki sikap yang
berbeda-beda dalam menilai dan mengikuti keberadaan PGRI.
Maka
ketika seseorang terjun menjadi anggota PGRI kiprahnya-pun
bermacam-macam. Hal ini tergantung kepada motivasi -nya, apakah untuk
sekedar trend atau sekedar batu loncatan. Yang sekedar trend biasanya
anggota semacam ini hanya punya Kartu Anggota, sedangkan yang sekedar
batu loncatan adalah anggota yang pandai memanpaatkan posisi/
kedudukannya untuk tujuan-tujuan tertentu.
Kecenderungan anggota PGRI yang kedua ini, biasanya demi kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.
Misalnya
dengan jadi anggota PGRI tujuannya ingin mengubah status dari yang
tadinya Guru menjadi Kepala Sekolah atau Kepala Dinas, dan lain-lain.
Masih sah atau layakah mereka jadi anggota PGRI ?
Menurut
penulis, seorang Guru yang berubah status menjadi Kepala Sekolah, dll.
Sebagai anggota PGRI masih sah, tetapi sudah tidak layak lagi menjadi
Pengurus PGRI. Dikarenakan sangat memungkinkan Guru yang menjadi
Pengurus PGRI dan sudah berubah status, kecenderungan memihak kelompok
tertentu selain Guru akan semakin kental. Sebab disamping sudah
terkooptasi oleh kedudukannya ( sebagai Kepala Sekolah, dll ), mereka
juga takut jabatannya terganggu.
Karena
takut terganggu, akhirnya ketika ada hal-hal yang dapat merugikan
kepentingan Guru/pendidikan. akan lebih cenderung kurang memihak
kepentingan guru bahkan adakalanya membantu memuluskannya.
Legowokah mereka mundur dari jabatannya sebagai Pengurus PGRI ?
Ada dua
kelegowoan yang akan muncul apabila hal ini diangkat kepermukaan yaitu
legowo terpaksa dan atau legowo dipaksa. Legowo terpaksa, dikarenakan
faktor intern dan murni atas kehendaknya sendiri tanpa ada paksaan atau
tekanan dari pihak lain / luar. Legowo dipaksa, disebabkan adanya faktor
eksternal, dimana mundurnya dikarenakan oleh adanya akumulasi kesalahan
dan kekeliruan sehingga mengakibatkan didesak oleh para anggota untuk
mundur dari jabatanya sebagai pengurus PGRI.
Betulkah PGRI itu Besar tetapi Kecil ?
Ada
orang yang berpendapat bahwa kalau kita mau besar harus melepaskan yang
kecil, tetapi adapula yang berpendapat kalau kita mau besar harus
merangkul yang kecil. Dimana pendapat ini, menurut penulis rasa
kedua-duanya benar. Dikarenakan mempunyai korelasi dan substansi yang
berbeda. Yang pertama hubungannya dengan kekuasaan, dan yang kedua
hubungannya dengan pengabdian, dimana keduanya seperti dua sisi mata
uang yang tidak bisa terpisahkan.
Contoh :
Ketika seseorang ingin suatu kekuasaan yang terpikir dalam benaknya
adalah bagaimana menyingkirkan atau menghilangkan cucuk / duri yang ada
dalam tubuhnya (tubuh disini adalah Organisasi). Salah satu bentuk upaya/usaha yang dilakukannya, dengan cara melakukannya sendiri (seolah-olah berprestasi, padahal cuma numpang beken / nama) dan ada pula dengan cara lempar batu sembunyi tangan.
Kita
ambil kasus FKGBI di Kabupaten Kuningan & Majalengka yang secara
langsung atau tidak langsung ada keterikatan emosional dengan PGRI.
Sudah
kita ketahui bersama di Kabupaten Kuningan ada yang namanya FKGBI (Forum
Komunikasi Guru Bantu Indonesia) dimana Organisasi ini ada disemua
tingkatan mulai dari Kecamatan sampai tingkat Nasional. Moto juangnya
pun jelas yaitu MAJU BERSAMA MENANG BERSAMA, ini artinya teman-teman
Guru Bantu (GB) dituntut untuk secara bersama-sama memikirkan,
mengusahakan dan memperjuangkan teman-teman GB yang belum alih status
dari GB ke CPNS / PNS, atau dengan kata lain jika masih ada Guru Bantu
yang belum alih status jadi CPNS / PNS maka kurang atau bahkan tidak
etis dan belum layak kita memikirkan hal-hal lain diluar itu seperti
misalnya membubarkan FKGBI.
Karena
ada diantara pengurus FKGBI yang terobsesi oleh suatu kekuasaan/
kedudukan, maka akhirnya dengan tega-teganya mereka menggunting dalam
lipatan menjegal teman seiring. Dengan cara mengadakan konspirasi,
mengkondisikan teman-teman Pengurus GB yang kurang / tidak mengerti
duduk persoalan atas keberadaan FKGBI. Kemudian mereka bersama-sama, menyepakati diselenggarakan -nya pembubaran FKGBI.
Di
Kabupaten Majalengka beda lagi, karena keberadaan FKGBI dianggap makanan
yang bisa mendatangkan penyakit, maka kemudian ada pejabat yang alergi
terhadap keberadaan FKGBI. Mereka menghendaki agar FKGBI Kabupaten
Majalengka dibubarkan. Kenapa hal ini bisa terjadi ?
Hal ini
bisa terjadi, karena ada simbiosis mutualisme diantara peran pejabat /
birokrasi dengan oknum pengurus PGRI, sebab mereka tidak/kurang
menghendaki Guru menjadi besar bersama PGRI.
Fenomena
ini, bisa diamati dari kentalnya muatan2 politis birokratis. Kita tahu
sepuluh tahun kebelakang (sebelum tahun 1998), yang namanya PGRI menjadi
ajang rebutan pejabat. Namun ketika Reformasi bergulir, mereka
(pejabat) rame-rame meningggalkan PGRI. Sekarang setelah Reformasi
menampakan kemandulannya, PGRI mulai dilirik lagi. Caranya dengan
memanpaatkan oknum Pengurus PGRI yang terobsesi ingin jadi pejabat di
birokrasi. Tujuannya tidak lain adalah supaya niat-niat busuk yang biasa
mereka lakukan dapat berjalan mulus kembali. Seperti menyunat hak-hak
Guru, mengkorupsi jatah Guru/pendidikan, dsb.
Apabila
semuanya ini terjadi, dapat disimpulkan bahwa PGRI itu besar tetapi
kecil. Besar karena sebagian besar Guru menjadi Anggota PGRI, kecil
karena peran dan hak-hak guru dikebiri/ disunat oleh adanya kepentingan
pribadi dan kelompok tertentu.
Penulis
berasumsi jika Guru dan organisasi PGRI ingin besar mulai saat ini Guru
perlu mereaktualisasi peranan-nya di PGRI dan mereposisi Pengurus PGRI
yang sudah berubah status dari yang tadinya Guru menjadi Kepala Sekolah,
Kepala Dinas, dll.
Guru
perlu mereaktualisasi dirinya di PGRI, karena organisasi PGRI itu milik
Guru bukan milik Kepala Sekolah, dll. Walaupun memang mereka pada
awalnya dari guru, tetapi status-nya bukan Guru lagi. Adapun nanti
dikemudian hari mereka kembali jadi guru lagi, itu lain lagi
persoalannya. Bagaimana dengan Dosen ? pada hakekatnya mereka sama
dengan Guru, namun ketika Dosen itu mempunyai jabatan intinya di
birokrasi, hal ini pun lain lagi persoalannya. Beda dengan yang jabatan
intinya sebagai Dosen, bagi yang jabatan intinya Dosen, mereka layak
menjadi pengurus PGRI.
Dengan
adanya restrukturisasi/ reposisi bagi mereka yang kedudukannya bukan
Guru lagi adalah terciptanya iklim yang sehat, progresif dan dinamis
dalam tubuh Kepengurusan PGRI. Diharapkan dengan diberikannya kembali
PGRI kepada Guru adalah agar Guru yang memiliki kompetensi bersedia
mengaktualisasikan dirinya di PGRI. Sebab penulis melihat, banyak Guru
yang memiliki kualitas kepemimpinan yang mumpuni dan kredibilitasnya
lebih baik mengambil sikap kurang peduli terhadap PGRI, salah satu
penyebabnya adalah sebagian besar dari mereka melihat bahwa pada saat
ini, organisasi yang menaunginya (PGRI) masih dijadikan sebagai alat
kekuasaan dan bukan alat penguasaan.
Sebagai
cerminan, mari kita melihat dan berguru atau meniru kepada sebuah
Partai yang tadinya kecil sekarang mulai besar, karena mereka / kader
tahu mana KEKUASAAN dan mana PENGUASAAN. Contohnya ketika diantara kader mereka berkuasa misalnya menjadi Walikota, Bupati, Gubernur ataupun wakilnya, dengan ikhlas/ legowo mereka melepaskan jabatannya di Partai.
Pertanyaannya
adalah maukah Pengurus PGRI yang sekarang mereka jadi Kepala Sekolah,
dll. bersedia mengundurkan diri dari Pengurus PGRI ?
Wallahualam bisowab.
Penulis : Guru
SMPN 1 Cigandamekar, Pengurus PC GP Ansor Kab. Kuningan dan Kordiv.
Advokasi FKGBI Jawa Barat. Tinggal di Jln. SMPN 1 Cilimus Dusun Wage
Desa Bojong Kec. Cilimus Kabupaten Kuningan. HP. 08 15721 22468
Telah terbit di KABAR CIREBON, Kamis 07 April 2011 Halaman 12


0 comments:
Posting Komentar