Oleh : Drs. Asep Saepullah
Sebagai umat beragama kita wajib memanjatkan puji syukur ka khadirat tuhan yang maha esa, karena sampai saat ini kita dapat menjalankan, melaksanakan tugas dan memelihara eksistensi diri masing-masing, di tengah-tengah situasi kehidupan ekonomi, politik dan sosial yang masih serba memprihatinkan. Jika sampai hari ini kita masih bisa mempertahankan eksistensi dan menjalankan kehidupan sebagaimana mestinya, hal itu semata-mata karena adanya kesabaran yang luar biasa dan dimilikinya sikap oftimistik akan adanya pertolongan tuhan yang maha esa.
Kami merasakan betul betapa teman dan saudara kami saat ini mengalami penderitaan lahir dan batin, yang seolah-olah tanpa berkesudahan. Persoalan lama yang merupakan warisan pemerintah Orde Baru (ORBA) dan membebani kehidupan sebelum dan sesudah Reformasi belum terselesaikan dengan tuntas, muncul persoalan baru yang kadar, kualitas dan kuantitasnya tidak kalah beratnya berkenaan dengan harapan bahwa dengan terjadinya pergantian kepemimpinan akan terjadi perubahan kehidupan yang lebih baik di banding periode sebelumnya.
Namun harapan tersebut sampai saat ini belum menjadi kenyataan, yang kami rasakan justru malah sebaliknya, harapan dan kepercayaan kami telah berubah menjadi kekecewaan yang mendalam, dan kehidupan kami makin memprihatinkan. Peringatan demi peringatan telah kita jalani dan kita alami, baik itu peringatan kemerdekaan, Hardiknas, maupun peringatan yang langsung berhadapan dengan alam dan individu masing-masing yang ditimpakan tuhan yang maha esa kepada makhluknya, tetapi entah apa yang menyebabkan peringatan demi peringatan tidak atau belum ada dampak yang cukup menggembirakan dan masih hanya sebatas angin surga, apalagi peringatan Hardiknas yang cuma seremonial belaka.
Peringatan Hardiknas misalnya kita sebagai anak bangsa semuanya tahu bahwa setiap tanggal 02 Mei kita memperingati hari pendidikan nasional, oleh karena itu 02 Mei adalah angka keramat bagi bangsa dan negara Indonesia dalam dunia pendidikan, sebab pada tanggal ini lah kita meletakan batu pertama atas komitment kita menyikapi ketertinggalan dan keterpurukan bangsa atas bangsa-bangsa maju yang telah banyak memanfaatkan ilmu pengetahuan guna menuju peradaban manusia yang lebih bermartabat, baik dimata manusia maupun sang penciptanya. Bermartabat artinya para insan terdidik memiliki rambu-rambu yang jelas dalam menjalankan aktifitastas sehari-hari, bukan malah sebaliknya rambu-rambu yang sudah jelas-pun akhirnya dibuat dan direkayasa supaya jadi remang-remang atau abu-abu, dimana para oknum eksekutif, legislatif, yudikatif pihak ke-3 (Ormas/Orprof) yang nota bene para insan terpelajar memutar balikan fakta dan aturan yang mereka sendiri sahkan serta dilegalisasi atas nama perpu, ketetapan, perpres, permen, pergub, atau perda, dsb.
Bentuk pemutar balikan fakta diantaranya masih mahabunya praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme yaitu adanya kegiatan-kegiatan konspirasi dalam menentukan suatu keputusan. Contoh yang paling hangat adalah dalam penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), banyak kejanggalan dan kekeliruan yang dilakukan tapi dengan atas nama keterbatasan akhirnya akan berujung pada saling maklum memaklumi. Pertanyaanya apakah hal ini akan terus menerus muncul dalam periode berikutnya atau akan dijadikan cermin bagi perbaikan dimasa yang akan datang ? sementara kita sudah menata negara republik ini lebih dari 60 tahun.
Apabila kita berpijak pada usia yang beranjak tua, maka tidak semestinya kesalahan yang sama terulang kembali, dan sudah menjadi rahasia umum ketika pemerintah akan merekrut CPNS, oknum-oknum instansi baik yang duduk di lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan pihak ke-3 (Ormas/Orprof) dengan serta merta berubah menjadi suatu tim yang solid dan tidak jarang juga terjadi persekongkolan untuk saling membunuh diantara mereka, buntutnya adalah kompromi jatah / titip menitip. Keberadaan ini hanya bisa diatasi manakala ada persamaan persepsi diantara calon-calon tenaga tambahan/CPNS, sebab hasil kompromi jatah tidak akan efektif jika semua komponen masyarakat sepakat bahwa kekuatan etika dan moral adalah segalanya. Kenapa ? karena mereka para pemain konspirasi yang jumlahnya terbatas pada lingkaran tertentu akan berhitung seribu kali dalam melakukan permainan jika yang dihadapinya adalah yang jumlahnya lebih besar dari mereka berpegang teguh pada etika dan moral, baik itu yang ada dalam perpu, ketetapan, perpres, permen, pergub, maupun perda atau sumber inspirasi dari segala bentuk kehidupan yaitu agama sebab tidak ada satu agama-pun yang melegitimasi perbuatan melanggar hukum/aturan.
Kalau dilihat dari usia NKRI yang sudah lebih dari 61 tahun merdeka, mungkin kejanggalan dan kesalahan dalam menentukan keputusan sudah semestinya hilang bukan malah sebaliknya, artinya hanya sedikit saja aturan yang mereka terapkan selebihnya masih mengacu kepada praktek-praktek konspirasi atau persekongkolan busuk (rotten collusion) dalam rangka saling tutup menutupi dengan jaring laba-laba yang mereka buat sendiri untuk menghilangkan atau mengaburkan pandangan mata yang masih jernih.
Bentuk konspirasi yang mereka buat ternyata hanya bisa dikelabui oleh kebijakan seorang pemimpin yang mampu menghilangkan jejak keping-keping rupiah yang tidak ada artinya dimata mereka para pemain konspirasi. Contoh kebijakan seorang pemimpin yang bisa mengelabui para pemain konspirasi adalah ketika dibukanya pendaftaran dan penerimaan Guru Bantu, hal ini dapat diyakini kebenaranya yaitu dengan melihat fakta dilapangan, ternyata sebagian besar tenaga Guru Bantu yang diterima adalah tenaga-tenaga pendidik yang sama sekali tidak tertarik kepada praktek rotten money Pertanyaanya kenapa ketika hal ini berhasil tetapi tidak ditindaklanjuti dengan hal yang sama dalam penerimaan CPNS ? jawaban yang jelas adalah karena para pemain konspirasi masih tidak rela pundi-pundi rotten money-nya kosong. Mungkin kah mereka masih memegang teguh pepatah sang narapidana yang berbunyi sekarang jaman edan kalau tidak edan kita tidak akan bisa beli sedan atau pepatah orang jujur tidak akan mujur/beruntung ?
Pepatah sang narapidana ini lah yang mungkin meraksuk di otak dan pikiranya, sehingga para pemain konspirasi dengan begitu teganya merobek dan mengobrak abrik hati nuraninya yang paling dalam, etika dan moral seolah-olah hanya dijadikan kedok untuk memuluskan niat kotornya. Kalau sudah begitu akan dibawa kemana nasib anak bangsa, sementara peringatan sudah bertubi-tubi diberikan oleh sang maha pencipta, mulai dari longsor, banjir, stunami, peledakan bom, kecelakaan kapal terbang, kapal laut, kereta api, wabah flu burung, busung lapar, pemberontakan jati diri yang merasa tertindas sehingga puncaknya ingin memisahkan diri dari NKRI, dan bahkan akhir-akhir ini gunung-gunung sudah menampakan kegelisahanya. Fenomena alam ini semestinya dijadikan bahan renungan, bukan dijadikan alat pembenaran yang kemudian berujung pada ketidak stabilan emosi. Hal ini dapat dilihat dari tidak sedikit harta yang di dapatkanya dari hasil rotten money habis dipakai biaya berobat karena terjangkit berbagai penyakit yang asalnya dari hati seperti darah tinggi, lever, jantung, kencing manis, dan penyakit-penyakit komplikasi lainya.
Kalaupun para pemain konspirasi mampu mengendalikan emosinya, maka tidak sedikit yang lupa terhadap keluarga dan keturunanya, sehingga jangan heran apabila keluarga dari para pemain konspirasi banyak yang broken home, dimana pelampiasanya bisa dalam bentuk senangnya hura-hura/melacur, jadi pecandu narkoba atau ditimpakanya berbagai macam penyakit kepada keluarga dan keturunanya yang susah sembuhnya. Akan kah mereka bisa merasakan nikmat dan barokahnya harta yang di dapatkan dari hasil permainan konspirasinya ? Yang merasakan hanyalah meraka yang melakukanya.
Kini Reformasi sudah berjalan lebih dari 8 tahun, tetapi dampak positifnya belum bisa dirasakan secara nyata oleh penguasa (Penguasa = di NKRI adalah Rakyat), justru yang merasakan hanyalah oknum-oknum yang diberi amanah kekuasaan yaitu eksekutif, legislatif, yudikatif, dan pihak ke-3 (Ormas/Orprof) dalam bentuk yang sama-sama negatif seperti; masih maraknya kolusi, korupsi, nepotisme, dsb. Akan dibawa kemana nasib bangsa dan NKRI oleh para pemain konspirasi ? , Wallahualam bisowab.
Penulis adalah Pengurus Pimpinan Cabang GP Ansor dan FKGBI Kabupaten Kuningan, GB SMPN 2 Cilimus tinggal di Dusun Wage RT.20/07 Desa Bojong Kecamatan Cilimus Kabupaten Kuningan.

0 comments:
Posting Komentar